Rabu, 30 Januari 2008

Jogja 999 Luka

sajakku tersangkut di stasiun tugu
menggantung di rembulan
purnama yang begitu sempurna
dalam segelas kopi jos dan sebungkus rokok
yang jadi abu di paru-paruku

kemana lagi akan kucari sepi
sedang aku keburu mati diantara keramaian ini
di satu sudut kota jogjakarta
di bawah lampu kota kematian menyapaku manja
anganku keburu jadi debu
dan mengeras di trotoar jalan ini
juga 999 luka telah berkarat di tubuhku

hingga pagi sedingin ini mimpiku
masih terlantar di ujung jalan malioboro
di depan gedung agung yang ikut murung
biarlah, biarlah seperti ini kawan!
biarkan embun basahi luka
yang kian nganga!

Jogja, 2006.

Layang layang

ternyata masih ada juga angin
yang mau terbangkan layang-layangku
aku sangat senang
begitu juga ibu
: yang rela rambutnya di jadikan benang
agar layang-layang bisa terbang

layang-layangku pun sangat girang
karena dia terbang tinggi di awang

ternyata rambut ibu tak sekuat waktu masih muda dulu
benang pun putus
harapanku pupus, begitu juga ibu
karena layang-layang lebih memilih terbang
lebih jauh ke balik awan
mungkin untuk selamanya

Jogja, 2006.

Dialog Jiwa

hei
kenapa kau mendusta dan tak mau bicara
kau hanya tatapi daun-daun ranggai
di kering ranting
dari dahanmu yang menjulai melambai
tersirat segala kekhawatiran di jiwa

kenapa tak kau paparkan saja apa adanya dirimu
kabarkan pada keangkuhan, kesombongan
biar terkesima mereka
dan laru-melaru menuju pertaubatan
atau Jangan-jangan kau tak peduli
dan berdiam diri menatap segala yang terjadi
hingga datang waktunya

hei
berapa lama lagi akan kau tinggali dangau ini
sedangkan kau hanya diam menatap atap
yang tak lagi melindungi

hakekat kita sama dan sudah digariskan
ketakutan kita pun tak jauh beda
namun bagaimana aku bisa bercerita
tentang perasaan yang kurasakan
tentang kecemasan, kegelisahan..
dan rasanya ingin kukoyak dada ini
biar tertumpah segala
hal yang berkecamuk di dalamnya

mungkin semua ini tak dirasakan oleh anak-anakmu
atau mungkin mereka sedang terlena
lupa akan hakekat mereka
dan mereka menganggap ini semua
kegilaan semata

mimpi itu datang lagi padaku dalam nyata
dan masa yang tinggal tak seberapa
di suatu malam yang penuh makna
getarkan jiwa, aliran darahku kaku
membawaku terduduk dalam khusuk
di atas sebidang tanah
dan akan binasa

Jogja, 2004-2006

Pohon Tumbang

suatu malam di yogyakarta
abang bicara padaku lewat udara
katanya;
ada sebatang pohon tumbang
di halaman rumah gadang
tiang-tiang patah-patah
dinding pada retak
dan ibu terluka hatinya
Jogja, April 2005

Tuhan Sang Gembala

kaukah itu perempuan yang buat aku jadi adam,
dan makan buah larangan di syorga(Mu).
dimana Tuhan saat itu?
apakah sembunyi di rambutmu,
matamu,
hidungmu,
bibirmu,
atau Tuhan sedang sibuk pula di syorga,
hingga tak sempat gembalai kita.
ah, semoga Tuhan
tak lihat semua tragedi antara aku, kau dan Nya.

Jogja, 21022006.

Sajadah

tak usah kau umpat masa lalu yang kelabu
jika sajadah usang itu kau biarkan terbentang
dan berdebu
penyesalanmu tak mungkin bisa mengembalikan waktu
meski air matamu darah.

Jogja, Februari 2005

Selasa, 22 Januari 2008

Warung Pantai

jangan kau pandang aku seperti itu, nona
dengan mata panahmu
biarkan suasana mengalir seperti Indragiri
atau darah yang hanyut di dalamnya
"sedang sejarah dibiarkan tenggelam begitu saja!"

Rengat, Januari 2008

Minggu, 20 Januari 2008

Reformasi Bisu

darah pejuang banjiri jalanan ibukota yang kusam
semanggi trisakti
jadi saksi pertempuran nurani
hari-hari yang melelahkan
tak mampu padamkan bara
dalam jiwa para pemuda
bagai singa jantan terbangun dari tidurnya yang panjang
mengaum taklukkan rimba yang terlarang

reformasi kain kafan bagi pejuang yang mati
tinggalkan sejarah menyayat hati

tanah merah pada kuburan yang kemarin
mulai bersemak
pertempuran yang lalu dan melelahkan
mulai terlupakan
batu-batu nisan hanya diam
bersemayam
diatas tulang belulang
reformasi duduk
dan bisu

Jogja, Mei 2004

Pesan Buat Tuhan

jika kau bertemu tuhan dalam perjalananmu nanti
tolong tanyakan lagi pada-nya;
untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini?
karena aku takut
kalau kalau nanti aku lupa!
lupa pada jalan yang telah di tuntunkan-nya
lupa pada ayat ayat yang telah di turunkan-nya
lupa pada janji yang rohku tlah ucapkan dulu
jika kau bertemu tuhan dalam tidurmu nanti
tolong bisikkan pada-nya
laki laki ini sangat merindukan-nya
dan aku juga ingin dia datang padaku
dalam tidurku;
mengajariku tentang arti malam
dan membimbingku
saat kutersesat dalam kelam
jika kau bertemu tuhan
saat kau terbangun dari tidurmu nanti
jangan lupa sampaikan pesanku ini pada-nya;
karena aku juga ingin dia menemani
saat kuterbangun dari tidurku
ngobrol sebentar
sambil minum secangkir kopi susu

Jogja, 2006.

Aku Mati Dulu Tuhan

aku mati dulu tuhan
semoga besok pagi kau bermurah hati
bangunin aku lagi.

Jogja, 2006.

Karena Perempuan

guruku tersandung
karena perempuan dan tak lihat jalan
dan murid-murid hanya menangis

Jogja, April 2005.

Ziarah

kemana kan kuziarahi kau
ke kubur-kubur penuh lumpur?
antara aku dan kuburmu
sudah dibatasi tanggul-tanggul

Jogja, Okt’ 2006.

Rabu, 16 Januari 2008

Kawan

adakah tempat yang lebih jauh
untuk memisah
antara senyum dan tawa
antara tangis dan airmata
bukankah rindu ini milik kita

waktu memang telah merubah segalanya
jadi pemisah antara aku dan dirimu
antara kau dan dirinya
tapi waktu tak bisa merubah sejarah
walau jalan kita lain arah

dari tempat jauh ini, kawan
kurasa rindu itu makin nganga
makin mendera

Jogja, Nov’ 2006.

Dalam Hitam

dalam hitam kau menarinari
melukiskan cahaya-cahaya putih
berkas sinarnya melahirkan silang sengketa
dalam jiwa yang kian rapuh

apakah ia bidadari?
landscape yang dihiasi pohon-pohon
sungai-sungai
gunung-gunung
dan lautan surgawi

andai ku mampu melukisnya jua
di atas kanvas lusuhku maka;
kanvasnya adalah kulit
tintanya adalah darah
kuasnya terjalin dari ribuan bulu roma
piguranya tulang belulang
dari tubuhku sendiri

dalam hitam kau menarinari
dalam jiwa yang rapuh

Jogja, Nov’ 2006.

Senyum Pada Bibir Penuh Luka

senyum itu hanya hadir sesaat
ku tangkap lalu ku abadikan
pada bibir penuh luka
kebahagiaan ada saja yang serakah
merenggutnya tanpa rasa iba

aku tidak minta dikasihani
(walau setiap langkah harus ku pertaruhkan
hargadiri).

senyum itu hanya hadir sesaat
ku ingat
lalu ku lukis pada wajah merah darah
senyum itu
hanya
sesaat
setelah itu yang ku lumat
tinggal kenangan kenangan
yang ku pungut dari sisa-sisanya luka
yang terpahat

Jogja, Oktober 2006.

Yaitu Maut

ada misteri yang tak harus terungkap
dalam tekateki hidup
yaitu maut
yang selalu ingin kupeluk
kupagut
hingga tak ada lagi desah nafas
jerit kesakitan!
ini hanya sebatas harap
dalam derap
langkahku langkahmu
langkah pasrah yang sisakan tetes darah
bukan sekedar airmata
yang tertumpah
sudah!

Jogja, 2006.

Mu

sayang, aku ingin bercinta lagi dengan-mu
bercumbu dalam bujuk rayu
persis seperti beberapa malam yang lalu
saat kudekat dengan-mu
saat kurasakan dekapan-mu
sayang, aku ingin selingkuh lagi dengan-mu
rindu aku dengan desah nafas-mu
karena kini malamku gelisah
sayang, nanti malam
saat kupanggil nama-mu
saat kulafazkan asma-mu
sudilah kau bukakan
pintu kamar-mu untukku
biar kubebas menggelitiki-mu lagi

Jogja, 2006.