Minggu, 30 November 2008

(tak ada judul)

aku kembali belajar menanam luka,
menyemai rindu pada tanah tak bertuan.

Rengat, November 2008.

Rabu, 17 September 2008

Sentimentalia Rindu

kali ini malam menyuguhkah dikepalaku rock'n roll
atau keroncong diramu sedikit koplo dan campur sari
tak kalah ketinggalan, juga sebuah blues yang nakal
ikut menggelitik nada nada di otak-ku
ah, mungkinkah sentimentalia rindu lagi menggoda
atau dirimu jua yang ingin kujumpa!

Rengat, September 2008.

Kamis, 11 September 2008

My Hello, Muncak!

adalah Nuh yang berlayar
dalam bahtera kata
lalu membuka kebun anggur
lalu membakar seekor kelinci untuk kesunyian ini
sebab di padang rumput ini segala yang hidup
akan berubah warna
meski laut adalah keberadaan ini

adalah kata yang membuat segalanya ada
sebatang pohon dan segelas kopi diujung jalan
serta langkahmu yang tertinggal di mulut gang
dalam kemabokan dan kebiruan
meninggalkan irisan daging dan tulang

sebab di lautan ini segala yang hidup
tenggelam dan mengambang di antara mata kail
di antara mata ikan. tiang layar yang gemetar
sebuah pulau kelu di lidahmu
begitu hijau ditumbuhi kehampaan
yang sesak wangi parfum perempuan
yang menggumpal bersama asap rokokku
dan tubuh perempuanku yang tertidur lelap
bersama bulan yang tumbuh di perutnya

seperti Nuh engkau berlayar
lalu membuka ladang kegelisahan
lalu membakar puisi untuk kesunyian ini!


2008.
(ditulis oleh seorang kawan)

Doa Peziarah

"Tuhan, berikan pada si-mati kemudahan kubur
tempatkan ia ditempat yang layak disis-Mu. Amin"

udara senja mulai tercium menjalari orang orang yang khusuk
mendung menyelimuti pemakaman umum pasir kemilu sore itu
sebuah kerinduan yang mampu lagi disembuyikan
menjelma airmata dipipi peziarah

"O..Tuhan pencipta sekalian alam
pada-Mu kami akan kembali
karena-Mu pula kami sampai pada Ramadhan ini"

(aku masih saja duduk disatu sudut pemakaman itu
menyaksikan orang orang datang dan pergi menuju kematian)

Rengat, Ramadhan 1429 H

Sabtu, 30 Agustus 2008

Marhaban Ya Ramadhan

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA BAGI PENGUNJUNG LAPU KOPI YANG MENUNAIKAN

Rabu, 20 Agustus 2008

Sepatu Baru Ayahku

1
dalam kardus di kamarku
kusimpan sepasang sepatu milik ayahku;
juga bersama langkahnya yang kutahu.
karena sepatu itu lebih dulu bisa melangkah ketimbang aku.
kini setelah sepatu itu cocok di kakiku,
dia jadi milikku.
sebenarnya ayahku tidak tahu, ketika aku
mengambil sepatu kesayangannya itu.
lagi pula dia sudah tak peduli kurasa,
karena ayahku sudah membeli sepatu baru.
2
ayahku merasa tambah gagah dengan sepatunya yang baru.
walaupun yang aku tahu, sepatu yang baru itu
sering membuat langkah ayahku wagu.
tapi ayahku tetap saja memakainya.
ah, paling buat gagah-gagahan saja, pikirku.
atau janganjangan, ayahku memang gegabah
ketika membeli sepatu baru itu.
O, kasihan sekali ayahku, makin tersiksa
karena sepatunya yang baru.
tapi akupun sudah tak mau tahu dengan sepatu baru itu,
juga dengan langkah ayahku.

Maret 2007.

Karena Apa Tuan Pergi?

karena apa tuan pergi?
dan sampai kini tuan tak pernah kembali.
ada rumah yang masih terbengkalai
harus di selesaikan, tuan.
rumah kupukupu yang dulu kita tanami bermacam bunga,
namun tuan tak sempat memagarinya.

karena apa tuan pergi?
dan sampai kini tuan enggan untuk kembali.
ada tubuh yang mulai luruh,
jatuh berguguran. bagai hujan yang bunuh diri
di atap rumah tanpa loteng itu.
seorang perempuan
yang duduk di depan jedela tanpa pintu.
haruskah terbunuh waktu?

Maret 2007.

Rawamangun di Sebuah Halte

kau kembangkan payung agar tak basah tubuh kita
tapi di dadaku air sudah menggenang
(ada hujan yang turun dengan tak wajar di halte itu)
sementara orang-orang berdesakan makin sesak
mencoba berlindung dari hujan
kau mengajakku menghindar
di bawah payung yang kau kembangkan
“bolehkah kupeluk erat” katamu
“silahkan” jawabku!
kaupun tersipu malu, seolah puluhan pasang mata
orang-orang di halte itu tertuju padamu
“terlambat” gumamku
metromini sudah datang
kau pun menghilang

09032007.

Monolog Pertemuan

tarianmu memang belum usai kubaca
sejak kau menghilang dari pentas gersang tengah padang
namun kini kau tibatiba muncul kembali disini
mencoba menyirami rumput kering di tanah kering
ah, semua sudah sia sia, sayang
(takkan cukup dengan segala mendung yang menggantung di matamu)
di padang gersang itu, di bawah sebatang pohon
yang sepertinya cukup rindang buat kita berteduh
kita duduk terdiam, saling pandang
dan sesekali kau lemparkan jua senyum
dari bibir merah kecoklatan itu
(seandainya bisa kuajak kau lari melintasi terik matahari
melawan segala ketidakwajaran
seperti angin yang menculik debu dari tanah)
kau tetap saja masih diam
wajahmu galau dan lengang
sambil kau remas jarimanismu
yang terikat itu

TIM 12032007.

Pepatah Ibu

gajahmati meninggalkan gading
harimaumati meniggalkan belang
manusiamati meninggalkan nama
namun ketika ayah pergi, dia hanya meninggalkan tongkat.
lalu Ibu bilang;
“aku tak butuh tongkat ayahmu, suruh saja dia menceraikanku.”
sejak saat itu, ayah tak lakilaki dimataku!

2007.

Sitti Nurbaya

di trotoar itu aku tunggu kedatanganmu. siti nurbaya,
yang telah lama tak kujumpa.
lenggangmu tak berubah kulihat, masih membayang
gelagat rindu di wajahmu,
bersama langkah dan jejak yang kau pahat.
juga, bibir merah kecoklatan.
(sepasang merpati hinggap di jalanan,
mati dilindas keangkuhan jaman)
kita hidup kembali sayang,
hari ini, reinkarnasi.
lupakan pembunuhan rindu di telpon itu.
ketika kau nyatakan padaku, seseorang telah
memintamu. anaknya teman baik bapakmu.
ah, sudahlah. jangan berduka.
karena hari ini bukan pesta kematian.
genggamlah tanganku, yang erat.
sebelum kau terbangun dari mimpi hari ini
atau tidak samasekali.


Jkt 13032007.

Kepada Perempuan Entah Siapa

malam di bawah sinar bulan wajahmu basah
suara-suara yang lahir dari bibirmu
menggangu ritual sunyi di tubuhku
kau harus tahu
bahwa aku tak bisa menciptakan firdaus di dadamu.
atau sungai-sungai yang mengalir
selain di tubuh itu airmata atau keringat.
lantas kau hujat diri atas nama dosa.
“tuhan tak mau menerimaku,
tubuh kotor yang selalu melahirkan
dosa” katamu!
(seolah kau telah menyetubuhi tuhan
berkali-kali dan
membunuh-nya dengan tanganmu sendiri)

Jogja, 2007.

Kepada Ra

malam menancapkan matanya yang tajam
ke dadaku
mata hitam yang tersembunyi di bawah alis hitam tebal

tak seorangpun tahu tentang peristiwa besar itu
kecuali aku dan tuhan-ku

ketika tatapan basahnya yang sadis
namun lembut telah menyayat-nyayat ini tubuh

kubiarkan luka ini jadi rahasia, jadi abadi bersama namamu
yang kutulis dalam coretan-coretan sajak

: ra

Jogja, 2007.

Jogja Musim Ini

tak putusputus kulihat garis nasibmu
belum lagi kering bekas luka
sudah datang lagi petaka
masih hangat di kepalaku;
ketika tubuhmu batuk darah
ketika bumimu terbelah
apakah berjuta do’a tak sampaisampai kelangit
hingga tumpah lagi bencana ke tanah

Jogja, 2007.

Senin, 24 Maret 2008

Sajak Untuk W

aku menemukan keteduhan itu dimata-mu
tempat ingin kusembunyikan diri dari panas dunia

Rengat, 2008

( ? )

aku memandang-mu berjilbab awan kemerahan
diantara siluet gedung gedung tua bertingkat
(kota ini telah tenggelamkanku dalam keangkuhan waktu
tanpa malaikat
atau bidadari

embun dikota ini begitu asing
ketika kucoba duduk di trotoar jalan
lalu kujemput kembali sebuah sore di tugu
ketika bersama-mu dan segelas kopi hitam

kengan itu teramat jauh kurasa
disaat langit mulai menguning
sementara kita bercerita tentang pertemuan
seolah kita ingin saling membuka diri
ingin saling dimasuki

digelap yang mulai menjalari sudut sudut kota
kita-pun saling tikam
(tapi entah siapa yang terluka)
dalam pertemuan yang singkat itu

Rengat, 2008

Sajak Debu

aku menemukanmu telah jadi bangkai dalam hitam mataku
setelah kau lelah susuri geliat angin dan matahari

mataku adalah gersang
adalah debu adalah merah adalah putih
lalu hitamnya suram

sebab kau
adalah laki-laki yang terseret ombak
nelayan yang disapu angin padang dan tarian ilalang

: kau adalah debu
yang tak menemukan tanah
tempat pulang

Jogja, 2006.

Berikan Aku Detik

tuhan, hidupku adalah sehela nafas
yang kau ijinkan
yang berjalan bergandengan
bersama hidup matinya harapan
jika detik ini berarti;
tak lain hanyalah bagi-mu
yang membangun semesta alam
hingga keselsel tubuhku
masihkah seteguk darah
yang mengalir di nadiku ini berarti?
tuhan, hidupku adalah sedetik waktu
yang kau adakan
yang berjalan beriringan
bersama tinggi rendahnya iman
jika waktu ini berarti
itu adalah keridhoan-mu
yang memelihara jagad raya
hingga kerelung relung jiwaku
berikan aku detik itu, tuhan
detik yang aku ada bagi-mu.

Jogja, 2006.

Luka Manalagi

luka mana lagi yang bisa semburkan darah dari mataku
datangkanlah!
agar tak resah jiwa ini, biar tak merah mata ini
ah, aku takkan tancapkan belati ini di dadamu ayah!
walau kasih tak lagi tercurah

Jogja, 2006/2007.

Untuk Kawan

kepantai, mengejar terang yang semakin hilang
kau pun masih murung, langit makin mendung
tapi hujan belum juga turun
maka menangislah kau di bahuku yang cukup rapuh ini
sampai reda, hingga lega
dan airmata tak lagi tersisa untuk saat ini
mungkin sekedar isak dan suara serak
lalu kau kembali tersenyum
saat cahaya tak lagi ada di depanmu
akhirnya tinggal kau dan aku
di antara deru ombak senja ini
kita hanya yang harus menjalani kawan!
walau langkah tampak pasrah
seakan ingin menyerah
bangkit kawan
dan teruslah melawan.

Jogja, 2006.

Minggu, 16 Maret 2008

Perempuan, Ladang Luka

kau tanam benih, bibit cinta bertahun-tahun
bertahun-tahun
tapi semua sia belaka
pudar harapan untuk panen raya
pudar harapan untuk melepas senja dengan tawa
sawah semakin kering
tanah ladang retak-retak
ilalang tumbuh menari-nari
“simpan saja sabit dan cangkul itu, bu!
simpan bersama sisa pupuk pestisida
mungkin bila musim tanam kembali tiba
semua akan berguna”
(tak di acuhkan-nya suara angin
suara burung-burung dan tikus sawah)
lantas perempuan itu berdiri
dan di siangi-nya sendiri ladang luka
yang membentang di dada-nya

Jogja, 2007.

Melankolia Tukang Kebun

ingin ku-nikahi taman
biar bisa ku-cium wangi bunga

ah, tidak!
biar ku-intip saja kau dari jauh
dari ruang paling rahasia
hingga hanya tuhan dan aku yang tahu
tentang keindahan yang tumbuh di taman itu
lagi pula akan sia-sia bila kau tahu
siapa aku;
yang hanya seorang tukang kebun, dengan tangan kasar
dan saban hari hanya bermain dengan hati gusar
biarlah, biar ku-intip saja kau dari jauh
dari ruang paling rahasia
(lagi pula tuhan kan lebih tahu
siapa yang pantas untuk menyirami-mu)

Warnet, 2007.

Sajadah Usang

pada sajadah usang terbentang
ku-cari itu ruang paling sunyi
ku-cari kekasih yang menjanjikan
sebuah percintaan
hei, aku telah datang pakai baju hitam
berjubah hitam di malam
ku-bawakan untuk-mu tubuh lusuh
mata cekung serta jiwa yang resah
dimana kau sembunyi, kekasih
aku datang dari jauh
melewati bukit dan jurang
serta lautan dengan ombaknya menghantam
kalau bukan karang
mungkin tubuh-ku sudah terkapar
kini aku telah sampai di halaman singgasana-mu
kunaiki satu demi satu anak tangga-nya
ku susuri ruang demi ruang, kosong
langkah ku-seret dengan payah, namun
belum jua ketemui diri-mu
bila tubuh ini terlalu jalang untuk kau peluk, kekasih
renggutkan saja nafas-nya
biar terbujur kaku bersama bangkai
musuh-musuh-mu!

Jogja, 2007.

Sajak Hujan

rintik-mu menumpuk di kepala
setelah reda
di dada masih saja kecipak rindu-mu
yang mengganggu

Jakal, 2007.

Re-inkarnasi malam

pada re-inkarnasi malam yang tabah
di wajah-nya penuh lebam
sudah cukup ku-kenali ia
lewat cahaya bulan-nya yang redup
sayup-sayup menerpa tubuh

pada re-inkarnasi malam yang tabah
aku tak ingin goreskan lagi itu luka!

Jogja, 2007.

Malam, Warung Kopi

malam telah mati di sini
bulan pun khianat
sesaat saja cahaya-nya nyelinap
di antara gerimis bau amis
membasahi tanah yang penuh sayat luka
sementara di sana, di ujung meja
orang-rang asyik saja menertawakan duka
bosan aku, dan ku-tenggelamkan saja diri
pada kopi yang masih tersisa
biar tak ada yang tahu siapa yang terluka

Jogja, 2007.

Sajak Perpisahan

di teras itu
ketika ku-peluk kau
mendung selimuti wajah kita
tapi aku harus berlalu
larut dalam do’a-mu
ibu

Jogja, 2006.

Orkestrasi Alam

nang ning nong ning nong nang
nong nang ning ning ning
melodi kematian ini-kah!
sunyi yang selama ini terpendam
bungkam

kini orkestrasi itu di-nyanyikan
di pentaskan gunung-gunung
bukit-bukit
lembah-lembah
sungai-sungai
dasar lautan hingga awang-awang

apakah irama kehidupan sudah tak seromantis dulu lagi
saat daun-daun berguguran, angin menutup mata
dan lambaikan tangan-nya
di bibir kita terkoyak senyuman, ketika dalam
dekapan kekasih
tapi apa yang terjadi kini, nyanyian alam jadi
tembang kematian!

siapa yang menangis?
siapa yang terluka?
siapa yang kehilangan?

alam saudara tua yang terluka
yang tak bisa lagi menahan amarah, karena selalu
terjarah!

daun-daun tak lagi sempat
untuk sekedar mengucap salam;
pada ranting-ranting patah
pada dahan-dahan rengkah
pohon-pohon dipaksa mati muda
hutan dirampas keperawanan-nya
apa ada yang dengar rintih-nya!

kini, nyanyian alam rintihan siapa?

Jogja, Des’2006.

Kumbang Kelana

aku kumbang kelana
aku datang dan pergi sesukaku
kuhinggapi bunga yang sedang mekar
tanpa rintangan

aku kumbang jalang
perenggut madu setaman bunga nan telanjang
dan akupun terbang

betapa hinanya aku
setaman bunga telah kubuat layu
lunglai tak bermadu
dan setaman bunga masih saja menunggu tanpa cemburu

aku kumbang kelana
hasrat yang membara mengepakkan sayapku
untuk terbang
berkelana mencari setangkai bunga
yang hilang

Jogja, 2004.

Sabtu, 02 Februari 2008

Seorang Bidadari

tak ada cahaya lilin
ruang terasa gelap

aku ingin seberkas sinar menyusup digelap itu
atau seorang bidadari sepertimu

siang dan malam jadikan kita berjarak
tapi lubuk hatiku yang baku merinduimu

walau malam ini tak ada cahaya lilin
walau ruang mendekap gelap

doamu adalah harapan
; Ibu

Rengat, 01 Februari 2008.

Rabu, 30 Januari 2008

Jogja 999 Luka

sajakku tersangkut di stasiun tugu
menggantung di rembulan
purnama yang begitu sempurna
dalam segelas kopi jos dan sebungkus rokok
yang jadi abu di paru-paruku

kemana lagi akan kucari sepi
sedang aku keburu mati diantara keramaian ini
di satu sudut kota jogjakarta
di bawah lampu kota kematian menyapaku manja
anganku keburu jadi debu
dan mengeras di trotoar jalan ini
juga 999 luka telah berkarat di tubuhku

hingga pagi sedingin ini mimpiku
masih terlantar di ujung jalan malioboro
di depan gedung agung yang ikut murung
biarlah, biarlah seperti ini kawan!
biarkan embun basahi luka
yang kian nganga!

Jogja, 2006.

Layang layang

ternyata masih ada juga angin
yang mau terbangkan layang-layangku
aku sangat senang
begitu juga ibu
: yang rela rambutnya di jadikan benang
agar layang-layang bisa terbang

layang-layangku pun sangat girang
karena dia terbang tinggi di awang

ternyata rambut ibu tak sekuat waktu masih muda dulu
benang pun putus
harapanku pupus, begitu juga ibu
karena layang-layang lebih memilih terbang
lebih jauh ke balik awan
mungkin untuk selamanya

Jogja, 2006.

Dialog Jiwa

hei
kenapa kau mendusta dan tak mau bicara
kau hanya tatapi daun-daun ranggai
di kering ranting
dari dahanmu yang menjulai melambai
tersirat segala kekhawatiran di jiwa

kenapa tak kau paparkan saja apa adanya dirimu
kabarkan pada keangkuhan, kesombongan
biar terkesima mereka
dan laru-melaru menuju pertaubatan
atau Jangan-jangan kau tak peduli
dan berdiam diri menatap segala yang terjadi
hingga datang waktunya

hei
berapa lama lagi akan kau tinggali dangau ini
sedangkan kau hanya diam menatap atap
yang tak lagi melindungi

hakekat kita sama dan sudah digariskan
ketakutan kita pun tak jauh beda
namun bagaimana aku bisa bercerita
tentang perasaan yang kurasakan
tentang kecemasan, kegelisahan..
dan rasanya ingin kukoyak dada ini
biar tertumpah segala
hal yang berkecamuk di dalamnya

mungkin semua ini tak dirasakan oleh anak-anakmu
atau mungkin mereka sedang terlena
lupa akan hakekat mereka
dan mereka menganggap ini semua
kegilaan semata

mimpi itu datang lagi padaku dalam nyata
dan masa yang tinggal tak seberapa
di suatu malam yang penuh makna
getarkan jiwa, aliran darahku kaku
membawaku terduduk dalam khusuk
di atas sebidang tanah
dan akan binasa

Jogja, 2004-2006

Pohon Tumbang

suatu malam di yogyakarta
abang bicara padaku lewat udara
katanya;
ada sebatang pohon tumbang
di halaman rumah gadang
tiang-tiang patah-patah
dinding pada retak
dan ibu terluka hatinya
Jogja, April 2005

Tuhan Sang Gembala

kaukah itu perempuan yang buat aku jadi adam,
dan makan buah larangan di syorga(Mu).
dimana Tuhan saat itu?
apakah sembunyi di rambutmu,
matamu,
hidungmu,
bibirmu,
atau Tuhan sedang sibuk pula di syorga,
hingga tak sempat gembalai kita.
ah, semoga Tuhan
tak lihat semua tragedi antara aku, kau dan Nya.

Jogja, 21022006.

Sajadah

tak usah kau umpat masa lalu yang kelabu
jika sajadah usang itu kau biarkan terbentang
dan berdebu
penyesalanmu tak mungkin bisa mengembalikan waktu
meski air matamu darah.

Jogja, Februari 2005

Selasa, 22 Januari 2008

Warung Pantai

jangan kau pandang aku seperti itu, nona
dengan mata panahmu
biarkan suasana mengalir seperti Indragiri
atau darah yang hanyut di dalamnya
"sedang sejarah dibiarkan tenggelam begitu saja!"

Rengat, Januari 2008

Minggu, 20 Januari 2008

Reformasi Bisu

darah pejuang banjiri jalanan ibukota yang kusam
semanggi trisakti
jadi saksi pertempuran nurani
hari-hari yang melelahkan
tak mampu padamkan bara
dalam jiwa para pemuda
bagai singa jantan terbangun dari tidurnya yang panjang
mengaum taklukkan rimba yang terlarang

reformasi kain kafan bagi pejuang yang mati
tinggalkan sejarah menyayat hati

tanah merah pada kuburan yang kemarin
mulai bersemak
pertempuran yang lalu dan melelahkan
mulai terlupakan
batu-batu nisan hanya diam
bersemayam
diatas tulang belulang
reformasi duduk
dan bisu

Jogja, Mei 2004

Pesan Buat Tuhan

jika kau bertemu tuhan dalam perjalananmu nanti
tolong tanyakan lagi pada-nya;
untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini?
karena aku takut
kalau kalau nanti aku lupa!
lupa pada jalan yang telah di tuntunkan-nya
lupa pada ayat ayat yang telah di turunkan-nya
lupa pada janji yang rohku tlah ucapkan dulu
jika kau bertemu tuhan dalam tidurmu nanti
tolong bisikkan pada-nya
laki laki ini sangat merindukan-nya
dan aku juga ingin dia datang padaku
dalam tidurku;
mengajariku tentang arti malam
dan membimbingku
saat kutersesat dalam kelam
jika kau bertemu tuhan
saat kau terbangun dari tidurmu nanti
jangan lupa sampaikan pesanku ini pada-nya;
karena aku juga ingin dia menemani
saat kuterbangun dari tidurku
ngobrol sebentar
sambil minum secangkir kopi susu

Jogja, 2006.

Aku Mati Dulu Tuhan

aku mati dulu tuhan
semoga besok pagi kau bermurah hati
bangunin aku lagi.

Jogja, 2006.

Karena Perempuan

guruku tersandung
karena perempuan dan tak lihat jalan
dan murid-murid hanya menangis

Jogja, April 2005.

Ziarah

kemana kan kuziarahi kau
ke kubur-kubur penuh lumpur?
antara aku dan kuburmu
sudah dibatasi tanggul-tanggul

Jogja, Okt’ 2006.

Rabu, 16 Januari 2008

Kawan

adakah tempat yang lebih jauh
untuk memisah
antara senyum dan tawa
antara tangis dan airmata
bukankah rindu ini milik kita

waktu memang telah merubah segalanya
jadi pemisah antara aku dan dirimu
antara kau dan dirinya
tapi waktu tak bisa merubah sejarah
walau jalan kita lain arah

dari tempat jauh ini, kawan
kurasa rindu itu makin nganga
makin mendera

Jogja, Nov’ 2006.

Dalam Hitam

dalam hitam kau menarinari
melukiskan cahaya-cahaya putih
berkas sinarnya melahirkan silang sengketa
dalam jiwa yang kian rapuh

apakah ia bidadari?
landscape yang dihiasi pohon-pohon
sungai-sungai
gunung-gunung
dan lautan surgawi

andai ku mampu melukisnya jua
di atas kanvas lusuhku maka;
kanvasnya adalah kulit
tintanya adalah darah
kuasnya terjalin dari ribuan bulu roma
piguranya tulang belulang
dari tubuhku sendiri

dalam hitam kau menarinari
dalam jiwa yang rapuh

Jogja, Nov’ 2006.

Senyum Pada Bibir Penuh Luka

senyum itu hanya hadir sesaat
ku tangkap lalu ku abadikan
pada bibir penuh luka
kebahagiaan ada saja yang serakah
merenggutnya tanpa rasa iba

aku tidak minta dikasihani
(walau setiap langkah harus ku pertaruhkan
hargadiri).

senyum itu hanya hadir sesaat
ku ingat
lalu ku lukis pada wajah merah darah
senyum itu
hanya
sesaat
setelah itu yang ku lumat
tinggal kenangan kenangan
yang ku pungut dari sisa-sisanya luka
yang terpahat

Jogja, Oktober 2006.

Yaitu Maut

ada misteri yang tak harus terungkap
dalam tekateki hidup
yaitu maut
yang selalu ingin kupeluk
kupagut
hingga tak ada lagi desah nafas
jerit kesakitan!
ini hanya sebatas harap
dalam derap
langkahku langkahmu
langkah pasrah yang sisakan tetes darah
bukan sekedar airmata
yang tertumpah
sudah!

Jogja, 2006.

Mu

sayang, aku ingin bercinta lagi dengan-mu
bercumbu dalam bujuk rayu
persis seperti beberapa malam yang lalu
saat kudekat dengan-mu
saat kurasakan dekapan-mu
sayang, aku ingin selingkuh lagi dengan-mu
rindu aku dengan desah nafas-mu
karena kini malamku gelisah
sayang, nanti malam
saat kupanggil nama-mu
saat kulafazkan asma-mu
sudilah kau bukakan
pintu kamar-mu untukku
biar kubebas menggelitiki-mu lagi

Jogja, 2006.