Senin, 24 Maret 2008

Sajak Untuk W

aku menemukan keteduhan itu dimata-mu
tempat ingin kusembunyikan diri dari panas dunia

Rengat, 2008

( ? )

aku memandang-mu berjilbab awan kemerahan
diantara siluet gedung gedung tua bertingkat
(kota ini telah tenggelamkanku dalam keangkuhan waktu
tanpa malaikat
atau bidadari

embun dikota ini begitu asing
ketika kucoba duduk di trotoar jalan
lalu kujemput kembali sebuah sore di tugu
ketika bersama-mu dan segelas kopi hitam

kengan itu teramat jauh kurasa
disaat langit mulai menguning
sementara kita bercerita tentang pertemuan
seolah kita ingin saling membuka diri
ingin saling dimasuki

digelap yang mulai menjalari sudut sudut kota
kita-pun saling tikam
(tapi entah siapa yang terluka)
dalam pertemuan yang singkat itu

Rengat, 2008

Sajak Debu

aku menemukanmu telah jadi bangkai dalam hitam mataku
setelah kau lelah susuri geliat angin dan matahari

mataku adalah gersang
adalah debu adalah merah adalah putih
lalu hitamnya suram

sebab kau
adalah laki-laki yang terseret ombak
nelayan yang disapu angin padang dan tarian ilalang

: kau adalah debu
yang tak menemukan tanah
tempat pulang

Jogja, 2006.

Berikan Aku Detik

tuhan, hidupku adalah sehela nafas
yang kau ijinkan
yang berjalan bergandengan
bersama hidup matinya harapan
jika detik ini berarti;
tak lain hanyalah bagi-mu
yang membangun semesta alam
hingga keselsel tubuhku
masihkah seteguk darah
yang mengalir di nadiku ini berarti?
tuhan, hidupku adalah sedetik waktu
yang kau adakan
yang berjalan beriringan
bersama tinggi rendahnya iman
jika waktu ini berarti
itu adalah keridhoan-mu
yang memelihara jagad raya
hingga kerelung relung jiwaku
berikan aku detik itu, tuhan
detik yang aku ada bagi-mu.

Jogja, 2006.

Luka Manalagi

luka mana lagi yang bisa semburkan darah dari mataku
datangkanlah!
agar tak resah jiwa ini, biar tak merah mata ini
ah, aku takkan tancapkan belati ini di dadamu ayah!
walau kasih tak lagi tercurah

Jogja, 2006/2007.

Untuk Kawan

kepantai, mengejar terang yang semakin hilang
kau pun masih murung, langit makin mendung
tapi hujan belum juga turun
maka menangislah kau di bahuku yang cukup rapuh ini
sampai reda, hingga lega
dan airmata tak lagi tersisa untuk saat ini
mungkin sekedar isak dan suara serak
lalu kau kembali tersenyum
saat cahaya tak lagi ada di depanmu
akhirnya tinggal kau dan aku
di antara deru ombak senja ini
kita hanya yang harus menjalani kawan!
walau langkah tampak pasrah
seakan ingin menyerah
bangkit kawan
dan teruslah melawan.

Jogja, 2006.

Minggu, 16 Maret 2008

Perempuan, Ladang Luka

kau tanam benih, bibit cinta bertahun-tahun
bertahun-tahun
tapi semua sia belaka
pudar harapan untuk panen raya
pudar harapan untuk melepas senja dengan tawa
sawah semakin kering
tanah ladang retak-retak
ilalang tumbuh menari-nari
“simpan saja sabit dan cangkul itu, bu!
simpan bersama sisa pupuk pestisida
mungkin bila musim tanam kembali tiba
semua akan berguna”
(tak di acuhkan-nya suara angin
suara burung-burung dan tikus sawah)
lantas perempuan itu berdiri
dan di siangi-nya sendiri ladang luka
yang membentang di dada-nya

Jogja, 2007.

Melankolia Tukang Kebun

ingin ku-nikahi taman
biar bisa ku-cium wangi bunga

ah, tidak!
biar ku-intip saja kau dari jauh
dari ruang paling rahasia
hingga hanya tuhan dan aku yang tahu
tentang keindahan yang tumbuh di taman itu
lagi pula akan sia-sia bila kau tahu
siapa aku;
yang hanya seorang tukang kebun, dengan tangan kasar
dan saban hari hanya bermain dengan hati gusar
biarlah, biar ku-intip saja kau dari jauh
dari ruang paling rahasia
(lagi pula tuhan kan lebih tahu
siapa yang pantas untuk menyirami-mu)

Warnet, 2007.

Sajadah Usang

pada sajadah usang terbentang
ku-cari itu ruang paling sunyi
ku-cari kekasih yang menjanjikan
sebuah percintaan
hei, aku telah datang pakai baju hitam
berjubah hitam di malam
ku-bawakan untuk-mu tubuh lusuh
mata cekung serta jiwa yang resah
dimana kau sembunyi, kekasih
aku datang dari jauh
melewati bukit dan jurang
serta lautan dengan ombaknya menghantam
kalau bukan karang
mungkin tubuh-ku sudah terkapar
kini aku telah sampai di halaman singgasana-mu
kunaiki satu demi satu anak tangga-nya
ku susuri ruang demi ruang, kosong
langkah ku-seret dengan payah, namun
belum jua ketemui diri-mu
bila tubuh ini terlalu jalang untuk kau peluk, kekasih
renggutkan saja nafas-nya
biar terbujur kaku bersama bangkai
musuh-musuh-mu!

Jogja, 2007.

Sajak Hujan

rintik-mu menumpuk di kepala
setelah reda
di dada masih saja kecipak rindu-mu
yang mengganggu

Jakal, 2007.

Re-inkarnasi malam

pada re-inkarnasi malam yang tabah
di wajah-nya penuh lebam
sudah cukup ku-kenali ia
lewat cahaya bulan-nya yang redup
sayup-sayup menerpa tubuh

pada re-inkarnasi malam yang tabah
aku tak ingin goreskan lagi itu luka!

Jogja, 2007.

Malam, Warung Kopi

malam telah mati di sini
bulan pun khianat
sesaat saja cahaya-nya nyelinap
di antara gerimis bau amis
membasahi tanah yang penuh sayat luka
sementara di sana, di ujung meja
orang-rang asyik saja menertawakan duka
bosan aku, dan ku-tenggelamkan saja diri
pada kopi yang masih tersisa
biar tak ada yang tahu siapa yang terluka

Jogja, 2007.

Sajak Perpisahan

di teras itu
ketika ku-peluk kau
mendung selimuti wajah kita
tapi aku harus berlalu
larut dalam do’a-mu
ibu

Jogja, 2006.

Orkestrasi Alam

nang ning nong ning nong nang
nong nang ning ning ning
melodi kematian ini-kah!
sunyi yang selama ini terpendam
bungkam

kini orkestrasi itu di-nyanyikan
di pentaskan gunung-gunung
bukit-bukit
lembah-lembah
sungai-sungai
dasar lautan hingga awang-awang

apakah irama kehidupan sudah tak seromantis dulu lagi
saat daun-daun berguguran, angin menutup mata
dan lambaikan tangan-nya
di bibir kita terkoyak senyuman, ketika dalam
dekapan kekasih
tapi apa yang terjadi kini, nyanyian alam jadi
tembang kematian!

siapa yang menangis?
siapa yang terluka?
siapa yang kehilangan?

alam saudara tua yang terluka
yang tak bisa lagi menahan amarah, karena selalu
terjarah!

daun-daun tak lagi sempat
untuk sekedar mengucap salam;
pada ranting-ranting patah
pada dahan-dahan rengkah
pohon-pohon dipaksa mati muda
hutan dirampas keperawanan-nya
apa ada yang dengar rintih-nya!

kini, nyanyian alam rintihan siapa?

Jogja, Des’2006.

Kumbang Kelana

aku kumbang kelana
aku datang dan pergi sesukaku
kuhinggapi bunga yang sedang mekar
tanpa rintangan

aku kumbang jalang
perenggut madu setaman bunga nan telanjang
dan akupun terbang

betapa hinanya aku
setaman bunga telah kubuat layu
lunglai tak bermadu
dan setaman bunga masih saja menunggu tanpa cemburu

aku kumbang kelana
hasrat yang membara mengepakkan sayapku
untuk terbang
berkelana mencari setangkai bunga
yang hilang

Jogja, 2004.